Derita Para Pemudik

Ketika itu jarum jam baru menunjukkan pukul 10.00, tetapi udara terasa begitu menyengat di Jalan Raya Pamanukan, bagian dari jalur pantura Jawa, yang padat oleh pemudik, Jumat (18/9). Deru ribuan sepeda motor, mobil pribadi, dan bus menambah panas, kotor, dan pengapnya cuaca.

Widodo (34) tiba-tiba membelokkan sepeda motornya, keluar dari rombongan arus mudik itu. Di boncengan, terlihat istrinya, Nuraidah (28), menggendong anaknya, Angga (3), yang tertidur.
Derita Para Pemudik
Ketiganya pun turun dari sepeda motor Yamaha Vega buatan 2004 dan mampir di sebuah rumah berdinding kayu milik warga Kelurahan Pamanukan, Kecamatan Pamanukan, Subang.

”Istirahat dulu di sini. Ngantuk dan capek banget,” ucap Widodo sambil merebahkan tubuhnya di sebuah balai-balai bambu berlapis tikar plastik lusuh di emperan rumah itu. Nuraidah tak bisa langsung ikut istirahat karena si kecil mulai rewel akibat kelelahan di tengah cuaca yang sangat panas.

Sembilan jam berlalu sejak Widodo dan keluarga berangkat dari rumah mereka di Ciputat, Tangerang Selatan, tetapi separuh jalan menuju kampung halaman mereka di Suradadi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pun belum terlampaui. ”Biasanya jam 11.00 sudah sampai Tegal kalau berangkat jam 01.00,” tutur Widodo, yang sehari-hari bekerja sebagai penjual mi ayam.

Bersama ribuan pemudik lain dari arah Jakarta, Widodo terjebak rangkaian kemacetan panjang sejak masuk Cikarang, Bekasi. Widodo mengaku sempat beberapa kali kehilangan kendali motornya di jalan yang padat itu karena rasa kantuk yang menyerang.

Ujang (36), yang mudik ke Kuningan, Jawa Barat, menggunakan mobil, tak terlalu beda pengalamannya. Dengan mobil Daihatsu Hijet buatan tahun 1985, ia, istri, dan ketiga anaknya (satu masih berumur satu tahun) terjebak kemacetan di Jalan Tol Cikampek selama empat jam, Jumat malam pekan lalu.

Tanpa pendingin udara, seluruh penumpang kepanasan. ”Tahun sebelumnya, saya, istri, dan dua anak masih mudik pakai sepeda motor. Cuma tahun ini repot kalau harus bawa tiga anak. Jadinya naik mobil butut ini sudah lumayan,” tutur Ujang tentang mobil yang dibeli seharga Rp 7,5 juta itu.

Beda lagi dengan Wardiman (47), yang nekat membawa mudik tujuh anggota keluarganya dalam mobil Kijang bak terbuka menuju Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Hanya selembar terpal warna biru yang dipasang seperti tenda menjadi ”kabin penumpang” di bak belakang mobil tersebut.

Sementara Yessy (30) ditinggal bus yang ditumpanginya saat sedang buang air kecil di kawasan Cikalong, Karawang. ”Saya cuma turun lima menit karena sudah kebelet. Macetnya juga sudah lebih sejam di tempat yang sama. Barang-barang semua ketinggalan di sana,” tutur Yessy (30), warga Cikarang yang hendak mudik ke Purwokerto, Jawa Tengah.

Yessy tidak sendirian. Paling tidak ada delapan orang di pos itu yang juga ketinggalan bus saat buang air kecil. ”Uang, pakaian, dan oleh-oleh untuk berlebaran semua ada di bus itu. Saya mau menelepon juga enggak ada nomor telepon yang bisa dihubungi,” tutur Tarjuli (23), pemudik yang hendak pulang ke Brebes.

Tak bisa ditolak

Namun, penderitaan mereka di perjalanan itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan orang-orang yang harus kehilangan nyawa atau orang-orang tercinta karena kecelakaan dalam perjalanan mudik. Selama 12 hari rangkaian arus mudik Lebaran tahun ini, tercatat sudah 583 pemudik tewas di jalan.

Apa yang dicari para pemudik itu sehingga mereka rela menyabung nyawa tiap tahun untuk menempuh perjalanan mudik?

Ujang mengaku, sungkem kepada orangtua dan menyambung silaturahim dengan keluarga di kampung merupakan magnet yang tak bisa ditolak setiap Lebaran tiba.

Ratno (29), pemudik asal Bojonegoro, Jawa Timur, yang ditemui di Stasiun Gambir, Sabtu (26/9), mengaku memaksakan mudik tiap tahun karena merasa memiliki kewajiban untuk sungkem kepada kedua orangtuanya saat Idul Fitri. ”Dalam setahun, saya jarang pulang. Kalau Lebaran enggak pulang sungkem, rasanya berdosa,” katanya.

Jastmen (26), pemudik yang baru saja tiba kembali di Jakarta menggunakan bus, Jumat (25/9), mengaku perjalanan mudik adalah kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan meski ia harus berdesak-desakan di dalam bus ekonomi. ”Itu sekali setahun kita bisa bertemu saudara dan orangtua dalam suasana yang meriah. Bagi saya, itu sangat menyenangkan,” papar pria asal Cipicung, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, ini.

Gantungan hidup

Lantas, jika kampung halaman sedemikian berarti bagi mereka, mengapa mereka akhirnya terdampar juga di Jakarta? Jastmen mengaku, setiap tahun pasti ada saudara atau kerabat di kampungnya yang minta ikut ke Jakarta. Bila tahun-tahun lalu dia membawa sepupunya, Lebaran kali ini dia membawa adiknya, Beti (18), ke Jakarta. ”Di kampung sulit cari pekerjaan. Ya sudah, akhirnya dia ikut saya ke Jakarta,” kata Jastmen.

Untuk bekerja sebagai petani, jelas tak mungkin bagi Beti dan Jastmen. Sawah tak lagi dapat dijadikan gantungan hidup.

Meski orangtua mereka masih punya sawah di desa seluas 7.500 meter persegi dan bisa rutin panen tiga bulan sekali, penghasilan bersih tiap panen hanya sekitar Rp 2,5 juta. Uang itu sangat terbatas. ”Kalau saya tak bekerja di Jakarta, bagaimana bisa mengirimi uang untuk orangtua saya di desa yang hidup pas-pasan dari bertani,” kata Jastmen, buruh pabrik bakso di Pondok Rangon, Jakarta Timur, dengan gaji Rp 700.000 per bulan.

”Kalau di kampung ada lahan pekerjaan dan gaji yang hampir sama dengan di Jakarta, saya mending tinggal di kampung saja,” ungkap Ruslan (31), pemudik asal Blitar, Jawa Timur, yang bekerja sebagai buruh pabrik kloset di Tangerang dengan gaji Rp 1 juta per bulan.Kompas